Dalam bidang akademis, sebagai bentuk pengabdiannya kepada ilmu pengetahuan, Hidayat Nur Wahid juga melibatkan diri mengajar di sejumlah Perguruan Tinggi. Ia menjadi dosen pada Program Pasca Sarjana Magister Studi Islam, dan Program Pasca Sarjana Magister Ilmu Hukum di Universitas Muhammadiyah Jakarta. Hidayat Nur Wahid juga menjabat sebagai dosen pasca sarjana di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, dan dosen pasca sarjana di Universitas Asy-Syafi’iyah, Jakarta.
Karena perhatiannya terhadap problem sosial dan kemanusiaan, kemampuannya mengonsolidasi massa, dan integritas pribadinya yang dipandang baik, Hidayat Nur Wahid dipercaya oleh gabungan beberapa organisasi massa dan politik,[8] untuk memimpin demonstrasi terbesar di Indonesia yang tergabung dalam Komite Indonesia untuk Solidaritas Rakyat Irak (KISRA) pada 30 Maret 2003 dalam rangka menentang agresi Amerika Serikat ke Irak.
Sebelumnya Pada tahun 2000, atas permintaan dari Nurchalish Madjid, Imam B. Prasodjo, dan Emmy Hafidl, Hidayat Nur Wahid pernah pula menjabat sebagai ketua koordinator tim agama di Forum Indonesia Damai (FID), sebuah organisasi yang dibentuk oleh para aktivis, akademisi, dan tokoh lintas agama seperti Nurchalish Madjid, Syafi’i Ma’arif, Frans Magnes Suseno, Bara Hasibuan, Asmara Nababan, Sa’id Agiel Siradj, dan Mar’ie Muhamad.
Dalam wawancara dengan Majalah Saksi, dapat disimpulkan bahwa keterlibatan Hidayat Nur Wahid dalam forum ini disebabkan oleh keprihatinannya terhadap teror bom yang marak terjadi pada waktu itu. Teror bom terjadi di gereja-gereja, di Masjid Istiqlal, di gedung Kejaksaan Agung, juga di gedung Kedutaan Malaysia dan Filipina. Hidayat Nur Wahid merasa khawatir budaya kekerasan dan pembunuhan tersebut dapat mengadu domba kerukunan bangsa Indonesia. Lebih jauh ia khawatir memang ada skenario pihak-pihak tertentu yang ingin mengail di air keruh agar terjadi konflik horizontal tersebut.
Sebagai seorang pemuka agama, keikutsertaannya dalam Forum Indonesia Damai juga didasari oleh perspektif religiusnya, seperti yang tercantum dalam surah al-Ma’idah/5:2 yakni “wa ta‘awanu ‘ala al-birri wa al-taqwa, wa la ta‘awanu ‘ala al-itsmi wa al‘-udwan” (“dan tolong-menolongah kamu dalam kebajikan dan takwa, dan janganlah kamu tolong-menolong dalam dosa dan pelanggaran”). Dari sudut pandang ini, Hidayat Nur Wahid mengatakan bahwa kita diperintahkan untuk merealisasikan al-birr dalam definisinya sebagai segala bentuk kebajikan, dengan siapapun, dan kita tidak boleh bekerjasama dengan siapapun dalam konteks dosa.
Dalam konteks politik, nama Hidayat Nur Wahid sebetulnya mulai dikenal ketika ia menjabat sebagai Presiden Partai Keadilan (PK) pada 21 Mei 2000, menggantikan Nur Mahmudi Ismail yang melepas jabatannya karena harus berkonsentrasi sebagai Menteri Kehutanan dan Perkebunan. Tradisi melepas jabatan partai ini kemudian hari diikuti oleh Hidayat Nur Wahid yang melepas jabatannya sebagai Presiden Partai Keadilan Sejahtera setelah terpilih sebagai Ketua MPR pada tahun 2004.
Sebelum menjabat sebagai Presiden PK, Hidayat hanya dikenal di lingkungan internal Gerakan Tarbiyah. Di kalangan Partai Keadilan sendiri, Hidayat Nur Wahid dikenal sebagai dewan pendiri. Ketika Partai Keadilan dideklarasikan pada 20 Mei 1998, sebetulnya ia sudah diminta untuk menduduki kursi presiden partai, namun ia menolak dengan alasan konteks waktu yang belum tepat.
Hidayat menyadari bahwa ia memimpin sebuah partai yang sangat segmented. Menurut Bachtiar Effendi, Partai Keadilan adalah partai yang luxury dengan segmen pemilih yang terkonsentrasi dari kalangan terpelajar muslim perkotaan. Segmentasi ini menurut Azyumardi Azra membuat Partai Keadilan dipandang cenderung eksklusif.[11] Padahal tuntutan rasional sebagai peserta Pemilu mengharuskan setiap partai politik untuk merebut sebanyak mungkin simpati publik. Untuk memudahkan partai dalam memperjuangkan visi dan misi politiknya, partai politik harus semaksimal mungkin menjaring hati pemilih, dan itu sulit dilakukan apabila partai tersebut tersekat dalam segmentasi pemilih tertentu. Dalam hal ini menarik apa yang diungkapkan oleh Sekretaris Jenderal PKS Anis Matta,
Karena perhatiannya terhadap problem sosial dan kemanusiaan, kemampuannya mengonsolidasi massa, dan integritas pribadinya yang dipandang baik, Hidayat Nur Wahid dipercaya oleh gabungan beberapa organisasi massa dan politik,[8] untuk memimpin demonstrasi terbesar di Indonesia yang tergabung dalam Komite Indonesia untuk Solidaritas Rakyat Irak (KISRA) pada 30 Maret 2003 dalam rangka menentang agresi Amerika Serikat ke Irak.
Sebelumnya Pada tahun 2000, atas permintaan dari Nurchalish Madjid, Imam B. Prasodjo, dan Emmy Hafidl, Hidayat Nur Wahid pernah pula menjabat sebagai ketua koordinator tim agama di Forum Indonesia Damai (FID), sebuah organisasi yang dibentuk oleh para aktivis, akademisi, dan tokoh lintas agama seperti Nurchalish Madjid, Syafi’i Ma’arif, Frans Magnes Suseno, Bara Hasibuan, Asmara Nababan, Sa’id Agiel Siradj, dan Mar’ie Muhamad.
Dalam wawancara dengan Majalah Saksi, dapat disimpulkan bahwa keterlibatan Hidayat Nur Wahid dalam forum ini disebabkan oleh keprihatinannya terhadap teror bom yang marak terjadi pada waktu itu. Teror bom terjadi di gereja-gereja, di Masjid Istiqlal, di gedung Kejaksaan Agung, juga di gedung Kedutaan Malaysia dan Filipina. Hidayat Nur Wahid merasa khawatir budaya kekerasan dan pembunuhan tersebut dapat mengadu domba kerukunan bangsa Indonesia. Lebih jauh ia khawatir memang ada skenario pihak-pihak tertentu yang ingin mengail di air keruh agar terjadi konflik horizontal tersebut.
Sebagai seorang pemuka agama, keikutsertaannya dalam Forum Indonesia Damai juga didasari oleh perspektif religiusnya, seperti yang tercantum dalam surah al-Ma’idah/5:2 yakni “wa ta‘awanu ‘ala al-birri wa al-taqwa, wa la ta‘awanu ‘ala al-itsmi wa al‘-udwan” (“dan tolong-menolongah kamu dalam kebajikan dan takwa, dan janganlah kamu tolong-menolong dalam dosa dan pelanggaran”). Dari sudut pandang ini, Hidayat Nur Wahid mengatakan bahwa kita diperintahkan untuk merealisasikan al-birr dalam definisinya sebagai segala bentuk kebajikan, dengan siapapun, dan kita tidak boleh bekerjasama dengan siapapun dalam konteks dosa.
Dalam konteks politik, nama Hidayat Nur Wahid sebetulnya mulai dikenal ketika ia menjabat sebagai Presiden Partai Keadilan (PK) pada 21 Mei 2000, menggantikan Nur Mahmudi Ismail yang melepas jabatannya karena harus berkonsentrasi sebagai Menteri Kehutanan dan Perkebunan. Tradisi melepas jabatan partai ini kemudian hari diikuti oleh Hidayat Nur Wahid yang melepas jabatannya sebagai Presiden Partai Keadilan Sejahtera setelah terpilih sebagai Ketua MPR pada tahun 2004.
Sebelum menjabat sebagai Presiden PK, Hidayat hanya dikenal di lingkungan internal Gerakan Tarbiyah. Di kalangan Partai Keadilan sendiri, Hidayat Nur Wahid dikenal sebagai dewan pendiri. Ketika Partai Keadilan dideklarasikan pada 20 Mei 1998, sebetulnya ia sudah diminta untuk menduduki kursi presiden partai, namun ia menolak dengan alasan konteks waktu yang belum tepat.
Hidayat menyadari bahwa ia memimpin sebuah partai yang sangat segmented. Menurut Bachtiar Effendi, Partai Keadilan adalah partai yang luxury dengan segmen pemilih yang terkonsentrasi dari kalangan terpelajar muslim perkotaan. Segmentasi ini menurut Azyumardi Azra membuat Partai Keadilan dipandang cenderung eksklusif.[11] Padahal tuntutan rasional sebagai peserta Pemilu mengharuskan setiap partai politik untuk merebut sebanyak mungkin simpati publik. Untuk memudahkan partai dalam memperjuangkan visi dan misi politiknya, partai politik harus semaksimal mungkin menjaring hati pemilih, dan itu sulit dilakukan apabila partai tersebut tersekat dalam segmentasi pemilih tertentu. Dalam hal ini menarik apa yang diungkapkan oleh Sekretaris Jenderal PKS Anis Matta,
Sumber : http://www.dakwatuna.com/2011/03/11469/sketsa-biografi-hidayat-nur-wahid/





0 komentar:
Posting Komentar